JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat regulasi di sektor aset kripto dan instrumen digital melalui penerbitan POJK Nomor 23 Tahun 2025, yang merevisi POJK 27/2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto.
Regulasi baru ini menandai babak penting pengawasan Aset Keuangan Digital (AKD) di Indonesia, khususnya dalam merespons perkembangan pesat inovasi produk digital seperti derivatif kripto.
OJK menegaskan bahwa penguatan regulasi ini diperlukan agar pertumbuhan pasar aset digital tetap berada dalam koridor yang sehat.
“Perkembangan instrumen digital sangat cepat dan semakin kompleks. Regulasi ini memastikan inovasi tetap berjalan, tetapi dengan prinsip kehati-hatian yang kuat,” kata Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi melalui press release yang diterima, Jumat (05/12/2025)
M. Ismail Riyadi menjeleaskan bahwa dalam peraturan baru tersebut, ruang lingkup AKD diperluas mencakup dua kategori besar yakni Aset Kripto dan Aset Keuangan Digital lainnya, termasuk instrumen derivatif digital.
Artinya, produk-produk turunan dari aset digital kini masuk ke dalam kerangka pengawasan resmi, mengikuti standar yang digunakan pada sektor jasa keuangan tradisional.
OJK juga menegaskan bahwa setiap aset digital yang diperdagangkan di Pasar Aset Keuangan Digital wajib memiliki kriteria khusus, mulai dari tata cara penerbitan, penyimpanan, hingga transaksi menggunakan teknologi buku besar terdistribusi.
Bursa hanya diperbolehkan memperdagangkan aset digital yang masuk dalam Daftar AKD resmi, sehingga melindungi konsumen dari aset yang tidak terverifikasi.
Regulasi derivatif AKD menjadi salah satu sorotan dalam POJK baru ini. Bursa yang ingin membuka perdagangan derivatif diwajibkan memperoleh persetujuan OJK terlebih dahulu.
Sementara itu, pedagang dapat menjalankan transaksi derivatif atas nama konsumen tanpa harus meminta izin kembali, sepanjang telah memiliki kerja sama resmi dengan Bursa dan melaporkan aktivitasnya kepada OJK.
“Standar pelaporan yang ketat akan memastikan transparansi dan mencegah potensi penyimpangan. Untuk melindungi konsumen, penyelenggara perdagangan AKD diwajibkan menyediakan rekening margin khusus berupa uang atau aset digital, jelasnya menambahkan.
Selain itu, konsumen yang ingin bertransaksi derivatif harus mengikuti knowledge test yang diselenggarakan oleh pedagang. Langkah ini dinilai menjadi filter agar hanya konsumen yang memahami risiko yang dapat mengakses instrumen ber-volatilitas tinggi tersebut.
Dengan terbitnya regulasi ini, OJK menegaskan komitmennya mendorong ekosistem aset digital yang inovatif namun tetap aman.
“Kami ingin pertumbuhan yang inklusif, tetapi tetap mengedepankan perlindungan konsumen,” tutup M. Ismail Riyadi.(sct)


















