UPR Tekankan Keadilan Akses Pendidikan di Daerah

AKADEMIKA29 Dilihat

PALANGKARAYA – Dialog publik penyusunan revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas Komisi X DPR RI serta perwakilan kementerian menjadi momentum bagi civitas akademika untuk menyampaikan pandangan terkait kondisi pendidikan di daerah.

Rektor UPR Prof. Dr. Ir. Salampak, M.S dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya dialog tersebut dan menegaskan dukungan penuh terhadap RUU Sisdiknas sebagai langkah memperkuat arah pendidikan nasional.

“Ini merupakan suatu kehormatan bagi kami bisa memberikan masukan. Sudah tentu kami perguruan tinggi Kalimantan Tengah sangat mendukung adanya RUU Sisdiknas ini,” kata Prof. Salampak di Aula Rahan Gedung Rektorat Universitas Palangka Raya (UPR), Kamis (6/11/2025).

Ia kemudian mengungkapkan beberapa persoalan mendasar yang masih dihadapi daerah, terutama kesenjangan antara kualitas pendidikan menengah kebawah dan perguruan tinggi.

Menurutnya, disparitas ini semakin tampak ketika peserta didik dari daerah harus bersaing dalam sistem seleksi nasional yang memerlukan kesiapan akademik lebih tinggi. Kondisi tersebut menjadi tantangan besar bagi pemerataan mutu pendidikan.

Salah satu contoh yang ia sampaikan adalah pengalaman UPR ketika membuka Fakultas Kedokteran, yang awalnya ditujukan memberi ruang lebih besar bagi putra daerah untuk menjadi tenaga medis di wilayahnya sendiri.

Namun sistem seleksi nasional membuat banyak pelamar dari Kalimantan Tengah tidak terakomodasi.

Prof. Salampak menyebut kuota 30 persen bagi calon mahasiswa daerah masih tergolong kecil dan berharap ke depan angka tersebut dapat mencapai minimal 50 persen, khususnya bagi program pendidikan strategis seperti Fakultas Kedokteran.

Menurutnya lagi, langkah ini penting untuk membuka peluang lebih besar bagi lulusan sekolah-sekolah di Kalimantan Tengah agar dapat bersaing secara adil.

Ia juga menyoroti keterbatasan sarana, prasarana, serta beban pemenuhan akreditasi yang menuntut perguruan tinggi di daerah sejajar dengan kampus besar di luar Kalimantan.

Keterbatasan tersebut membuat peningkatan kualitas pendidikan berjalan lebih lambat meski upaya pengembangan terus dilakukan oleh UPR.

Di samping itu, persoalan jenjang karir dosen turut menjadi perhatian, terutama terkait mekanisme perolehan angka kredit yang saat ini berbasis SKP dengan batas maksimal 37 SKS per tahun.

Ia mempertanyakan efektivitas sistem tersebut bagi dosen yang ingin mencapai jabatan guru besar yang membutuhkan 800 SKS.

Dirinya juga mengusulkan agar metode lama dipertimbangkan kembali, termasuk pemisahan jalur ASN dosen dan non-dosen.

Prof. Salampak menilai bahwa tidak semua perguruan tinggi perlu diarahkan menjadi PTNBH, sebab kemampuan masing-masing daerah berbeda.

Wilayah Kalimantan Tengah dengan kondisi geografis luas dan jumlah penduduk 2,7 juta dinilainya belum ideal untuk menerapkan sistem tersebut, terutama terkait kemampuan menghadirkan pendapatan institusional yang stabil.

“Dengan keterbatasan yang ada, kami terus berusaha keras agar bagaimana kualitas peserta didik dapat bersaing dengan perguruan tinggi seperti ITB dan IPB dan UI yang sudah memiliki fasilitas memadai,” tandas Salampak.(sct)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *